Friday, December 31, 2004

Katastrop

Waktu itu saya sedang sedih, dan merasa menjadi orang tersial di dunia, ketika Tuhan menampar saya: Hei, kesedihanmu bukan apa-apa!

Sampai ketika saya tulis ini, jumlah korban untuk Indonesia saja sudah hampir 80.000, tepatnya 79.854 jiwa dari 118.000 jiwa, menurut cnn.

Innalillahi wa inna ilaihi raji'un.


Friday, December 24, 2004

Tiba

Membongkar-bongkar file lama di komputer. Eh, nemuin sesuatu. File aneh apa ini? Kok nggak inget pernah bikin kayak ginian ya? Haha. Coret-coretan di masa-masa jeprut dulu, ternyata.

Tapi kok terasa dangdut ya sekarang?

Ah, tapi jangan gitu. Mungkin waktu dulu saya nulis ini, saya ngerasa keren. Sesuai dengan suasana hati (ceile..). Sayangnya saya sudah lupa setting dan musik latar yang mendukung suasana waktu itu. Yah, yah, yah. Kita sekarang memang bukan orang yang sama dengan kita yang dulu. Selalu ada rasa yang aneh. Rasa yang beda. Mungkin kayak kalau kita mendengarkan suara kita yang iseng-iseng kita rekam sendiri di tape-deck. Atau melihat tingkah kita sendiri di suatu dokumentasi video sebuah acara lama. Kerasa wagu, begitu. Kok rasanya bukan saya. Mungkin juga kerasa kalau saya melihat posting-posting pertama di blog ini kelak beberapa tahun kemudian.

Nah, kembali ke file lama saya tadi: emang, seberapa jeprut saya waktu itu ya?

Tiba-tiba aku berada di simpang jalanku sendiri, ketika sadar bahwa aku tidak
mampu lagi menggerakkan kaki. Jangankan untuk berpikir dan memilih salah
satu di antara jalan itu, saat ini bahkan aku tidak bisa lagi menemukan alasan
mengapa aku berada di sini, mau kemana aku, apa yang aku lakukan. Sehingga
selama ini aku bersedia berjalan sejauh ini, sementara ketika itu otak dan
ototku sudah hampir beku dan kaku.

Aku hanya perlu pembenaran. Seberapapun tidak masuk akalnya itu. Sebab, bagaimanapun, jalan yang sudah tertempuh ini tidak akan bisa lagi aku susuri lagi. Selama ini hanya ada sekelumit rasa dan perasaan 'harus', yang membuat aku berjalan terus. Tapi kini aku kehabisan alasan. Aku sudah kehabisan nafas, nafsu, dan gairah yang memungkinkan aku mulai
menggerakkan kakiku lagi, dan mulai menyusuri salah satu jalan yang ada di
depanku ini.

Jalan yang manapun tidak masalah. Toh sebenarnya selama ini akupun tidak tahu pasti ke arah mana sebenarnya aku berjalan. Aku hanya mengikuti saja dorongan hatiku itu untuk terus saja membawa kaki-kakiku saling menyusul satu sama lain. Seakan satu sama lain saling berusaha untuk berlomba menunjukkan kepatuhan dan kesetiaannya padaku.

Sehingga terbentuklah jejak-jejak itu. Aku tidak pernah repot-repot berpikir untuk itu. Untuk apa, karena toh sudah ada jalan yang tinggal aku ikuti. Tapi masalahnya kali ini aku
dihadapkan pada sebuah persimpangan. Paling tidak, ada sesuatu yang harus
dipikirkan. Dan aku bingung, karena aku tidak pernah dihadapkan pada keadaan
seperti ini.

Dan sekarang baru aku mulai berpikir.Bagaimana seandainya jalan
yang aku ikuti ini dulunya juga dibuat oleh orang yang seperti aku, yang tidak
tahu sebenarnya hendak kemanakah dia.Tapi toh jika seandainya itu benar, dia
lebih baik daripadaku, karena dia sudah merintiskansebuah jalan untukku. Paling
tidak karena itu aku tidak perlu repot-repot berpikir.

Dan, bagaimana jika seandainya di belakangku ternyata ada orang yang entah kenapa mengikuti jejak
yang aku tinggalkan. Kasihan dia, karena mengikuti orang seperti aku. Sementara
mungkin dia lebih sadar dengan langkahnya. Kenapa dia tidak membuat jalannya
sendiri?

Tapi persetan. Toh tiap manusia mempunyai pertanggungjawaban sendiri
atas diri. Walau aku juga tidak yakin aku telah bisa melakukannya.

Nah, tapi masalah masih belum selesai.Harus kemana aku sekarang?

Bandung, akhir 2003 - awal 2004


Wednesday, December 15, 2004

Kopi

"rasanya sudah terlalu siang/
untuk menikmati secangkir kopi/
tapi toh hari ini selalu cuma sekali."

Menengok ke masa lalu. Puisi lama yang tak pernah gagal memberikan semangat. Walaupun kopi selalu membuat saya mules dan harus menyediakan waktu ke WC, tapi dengan bandelnya saya tetap harus minum kopi. Seseorang heran, "tapi kan kamu nggak ngerokok?". Iya ya. Mana enak ngopi kalo nggak ngerokok. Tapi mana saya tau juga, toh saya nggak pernah melakukan keduanya berbarengan.

Seorang teman baru melahirkan anaknya. Dia menamainya Kaffa. Yang artinya juga kopi, katanya. Tapi saya lupa dari bahasa apa. Selamat, Tyas.

Sunday, December 05, 2004

Lembam

Pagi-pagi hari minggu, ada sms:

Yiihaaa, ada yg akhirnya bikin blog juga!Ehm ehm! Badu udah baca lho!

Buset. Kok udah ada yang baca, ya. Belum di-softlaunch lo padahal. Kan kayak kita kedatengan tamu jam 5 sore padahal pestanya baru mulai jam 7 gitu. Masih berantakan gitu loh. Eh, liat blog tetangga, udah ada yang nge-link juga loh. (Ge-er sampeyan, mas? Ck!).

Tapi ya gak papa. Sebenernya kemaren juga sudah dapat pencerahan sih dari Bondy (thanks ma-men) buat bikin tampilan blog yang oke. Tapi sampe sekarang, tampilannya masih juga ungu norak itu, belum juga diubah. Hehe. ("Abis, dreamweavernya belum bisa diinstal juga sih, mas...", kata saya membela diri. Ck!).

Tapi, selain tampilan, marilah kita juga mulai menulis tulisan yang agak-sedikit-lebih-berkualitas gitu lo.